Pria berdarah Jawa yang lahir di
Beograd, Yugoslavia pada 31 Maret 1960 ini sudah jatuh cinta pada seni musik
sejak usia belia. Di usia tujuh tahun, putra pasangan Soedjono Atmotenojo &
Soerjani Oesoep ini sudah diperkenalkan pada alat musik piano. Sejak itu, Purwa
kecil mulai belajar piano klasik pada A Becalef, seorang guru piano
berkebangsaan Hongaria di Bandung.
Saat ia duduk di bangku SMP, salah
seorang teman ayahnya dari Amerika Serikat yang terpukau melihat permainan
piano Purwa sempat menawarinya untuk belajar musik ke Amerika. Namun, karena
saat itu ia masih belum cukup dewasa, ibunya pun tidak mengizinkan. Purwa tak
lantas kecewa karena ia cukup puas menimba ilmu musik di negeri sendiri.
Meski terlahir dalam keluarga yang
sederhana, ia termasuk anak yang beruntung karena memiliki orangtua yang amat
mendukung bakatnya. Terlebih lagi sang ayah yang berprofesi sebagai tentara
juga mencintai musik. Hampir setiap hari dari rumah mereka terdengar lantunan
merdu lagu klasik yang diputar lewat piringan hitam milik musisi ternama di
masa itu seperti Pat Bone, Glen Muller, dan Perry Como. Koleksi piringan hitam
tersebut kebanyakan didapat sang ayah ketika bertugas di Negeri Paman Sam.
Walau mendukung karir bermusik anak-anaknya, Soedjono tetap menekankan pentingnya
pendidikan formal.
Terlebih lagi, sejak tahun 1979,
Purwa sudah bekerja di sebuah perusahaan musik dan kerap tampil bermain musik
di Malaysia dan Singapura saat masih berseragam SMA. Akhirnya Purwa memilih
Jurusan Teknik Industri di Institut Teknologi Bandung (ITB) demi meluluskan
keinginan orang tuanya yang ingin anak-anaknya mengenyam pendidikan layak.
Ketika berstatus sebagai mahasiswa, di sela-sela kesibukan kuliah, ia tetap
menekuni bidang musik bahkan keahlian musiknya makin berkembang. Ia kerap
mendapat tawaran untuk menjadi musisi pengiring pesta perkawinan hingga reuni
anak-anak sekolahan. Meski memiliki kesibukan di luar bidang akademis, sulung
dari tiga bersaudara ini tak pernah menomorduakan kuliahnya. Setidaknya hal itu
dibuktikan dengan keberhasilan kakak dari Trie dan Thea ini meraih gelar
sarjana dengan Indeks Prestasi (IP) di atas tiga dalam skala 4.
Setelah lulus kuliah, namanya
semakin dikenal. Tawaran untuk tampil dalam berbagai acara musik di televisi
mulai menghampiri suami Sri Susanti ini. Berkat pengalaman puluhan tahun di
dunia musik, ia kerap didaulat sebagai dewan juri di beberapa ajang pencarian
bakat.
Purwacaraka punya pandangan
tersendiri soal trend sejumlah stasiun televisi yang menyelenggarakan acara
pencarian bakat. Menurut Komposer, musisi Purwacaraka, beberapa ajang pencarian
bakat di Indonesia konsepnya memang mengadopsi dari tayangan serupa di luar
negeri, seperti Amerika Serikat dengan American Idol-nya.
Bahkan sempat muncul anggapan bahwa
acara-acara tersebut hanya berorientasi pada strategi untuk menjaring pasar
yang lambat laun bisa menimbulkan kejenuhan dalam masyarakat. Namun untuk acara
pencarian bakat di bidang musik, Purwa tetap optimis masih bisa bertahan karena
masyarakat selalu mencari format dan lagu yang baru dan hal tersebut manusiawi
dan alami.
Baginya, musik tak bisa dilepaskan
dari kehidupan orang banyak. Musik akan tetap eksis dan mengikuti siklus sesuai
dengan selera pasar yang selalu berubah dalam satu kurun waktu tertentu. Purwa
mencontohkan musik dangdut yang secara perlahan pamornya mulai meredup
dikarenakan dominasi 'kingdom of dangdut' yang tak bisa dipatahkan oleh
ajang-ajang musik bernuansa dangdut.
‘Ketika
berstatus sebagai mahasiswa, di sela-sela kesibukan kuliah, ia tetap menekuni
bidang musik bahkan keahlian musiknya makin berkembang. Ia kerap mendapat
tawaran untuk menjadi musisi pengiring pesta perkawinan hingga reuni anak-anak
sekolahan. Meski memiliki kesibukan di luar bidang akademis, sulung dari tiga
bersaudara ini tak pernah menomorduakan kuliahnya.
"Ya,
mungkin ada dominasi 'kingdom of dangdut' yang disusul dengan pemusik-pemusik
dangdut yang namanya bintang lima seperti Penyanyi Dangdut, Presenter Ikke
Nurjanah, Diva Dangdut Camelia Malik dan lain-lain, namun tak bertahan lama dan
kembali ke habitatnya. Walau dibantu dengan ajang-ajang yang bernuansa dangdut.
Tapi karena enggak bisa menempatkan diri dangdut dengan lingkungan, maka
kembali ke habitatnya," jelasnya.
Lebih jauh, mandeg-nya beberapa
genre musik tertentu juga disebabkan oleh kemajuan teknologi dan minimnya
dukungan terhadap musik tersebut yang berimbas pada selera pasar. Sehingga,
lanjut Purwa, terjadi pergeseran nilai dan pihak label pun enggan untuk
memproduksinya.
"Kalau
kita enggak imbangi dengan hal lain, kalau berimbas positif enggak masalah.
Namun kalau negatif, misalnya keluhan-keluhan anak-anak kecil menyanyikan lagu
dewasa. Itu yang harus diantisipasi dengan perubahan. Zaman berubah tapi musik
enggak berubah sebagai kebutuhan masyarakat," pungkasnya.
Sebagai bentuk kepeduliannya
terhadap dunia musik Tanah Air, Purwa mendirikan sekolah musik berlabel
Komposer, musisi Purwacaraka Music Studio. Lembaga pendidikan yang didirikannya
sejak tahun 80-an itu kini telah memiliki puluhan cabang yang tersebar di
seluruh Indonesia.
Kebahagiaan Purwa kian lengkap
karena jejaknya sebagai seniman musik belakangan juga diikuti oleh ketiga buah
hatinya, Aditya, Andrea, dan Amanda. Si sulung Aditya menentukan pilihan
menimba ilmu di sekolah film, sementara dua adiknya, Andrea dan Amanda,
mengikuti jejak ayahnya di bidang musik. Bahkan Andrea, yang bercita-cita
menjadi penyanyi broadway telah mengawalinya dengan menggelar pertunjukan di
Gedung Kesenian Jakarta pada 20 November 2007. Andrea dan tiga rekannya:
Meliana Effendi, Jenna Iriana, dan Adyuta Abandhika memainkan musik hidup
bertajuk All The Way Resital dengan iringan musik Orkestra Kecil Purwacaraka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar