Jumat, 15 Januari 2016

Purwacaraka (Komposer)


Pria berdarah Jawa yang lahir di Beograd, Yugoslavia pada 31 Maret 1960 ini sudah jatuh cinta pada seni musik sejak usia belia. Di usia tujuh tahun, putra pasangan Soedjono Atmotenojo & Soerjani Oesoep ini sudah diperkenalkan pada alat musik piano. Sejak itu, Purwa kecil mulai belajar piano klasik pada A Becalef, seorang guru piano berkebangsaan Hongaria di Bandung.
Saat ia duduk di bangku SMP, salah seorang teman ayahnya dari Amerika Serikat yang terpukau melihat permainan piano Purwa sempat menawarinya untuk belajar musik ke Amerika. Namun, karena saat itu ia masih belum cukup dewasa, ibunya pun tidak mengizinkan. Purwa tak lantas kecewa karena ia cukup puas menimba ilmu musik di negeri sendiri.
Meski terlahir dalam keluarga yang sederhana, ia termasuk anak yang beruntung karena memiliki orangtua yang amat mendukung bakatnya. Terlebih lagi sang ayah yang berprofesi sebagai tentara juga mencintai musik. Hampir setiap hari dari rumah mereka terdengar lantunan merdu lagu klasik yang diputar lewat piringan hitam milik musisi ternama di masa itu seperti Pat Bone, Glen Muller, dan Perry Como. Koleksi piringan hitam tersebut kebanyakan didapat sang ayah ketika bertugas di Negeri Paman Sam. Walau mendukung karir bermusik anak-anaknya, Soedjono tetap menekankan pentingnya pendidikan formal.
Terlebih lagi, sejak tahun 1979, Purwa sudah bekerja di sebuah perusahaan musik dan kerap tampil bermain musik di Malaysia dan Singapura saat masih berseragam SMA. Akhirnya Purwa memilih Jurusan Teknik Industri di Institut Teknologi Bandung (ITB) demi meluluskan keinginan orang tuanya yang ingin anak-anaknya mengenyam pendidikan layak. Ketika berstatus sebagai mahasiswa, di sela-sela kesibukan kuliah, ia tetap menekuni bidang musik bahkan keahlian musiknya makin berkembang. Ia kerap mendapat tawaran untuk menjadi musisi pengiring pesta perkawinan hingga reuni anak-anak sekolahan. Meski memiliki kesibukan di luar bidang akademis, sulung dari tiga bersaudara ini tak pernah menomorduakan kuliahnya. Setidaknya hal itu dibuktikan dengan keberhasilan kakak dari Trie dan Thea ini meraih gelar sarjana dengan Indeks Prestasi (IP) di atas tiga dalam skala 4.
Setelah lulus kuliah, namanya semakin dikenal. Tawaran untuk tampil dalam berbagai acara musik di televisi mulai menghampiri suami Sri Susanti ini. Berkat pengalaman puluhan tahun di dunia musik, ia kerap didaulat sebagai dewan juri di beberapa ajang pencarian bakat.
Purwacaraka punya pandangan tersendiri soal trend sejumlah stasiun televisi yang menyelenggarakan acara pencarian bakat. Menurut Komposer, musisi Purwacaraka, beberapa ajang pencarian bakat di Indonesia konsepnya memang mengadopsi dari tayangan serupa di luar negeri, seperti Amerika Serikat dengan American Idol-nya.
Bahkan sempat muncul anggapan bahwa acara-acara tersebut hanya berorientasi pada strategi untuk menjaring pasar yang lambat laun bisa menimbulkan kejenuhan dalam masyarakat. Namun untuk acara pencarian bakat di bidang musik, Purwa tetap optimis masih bisa bertahan karena masyarakat selalu mencari format dan lagu yang baru dan hal tersebut manusiawi dan alami.
Baginya, musik tak bisa dilepaskan dari kehidupan orang banyak. Musik akan tetap eksis dan mengikuti siklus sesuai dengan selera pasar yang selalu berubah dalam satu kurun waktu tertentu. Purwa mencontohkan musik dangdut yang secara perlahan pamornya mulai meredup dikarenakan dominasi 'kingdom of dangdut' yang tak bisa dipatahkan oleh ajang-ajang musik bernuansa dangdut.
‘Ketika berstatus sebagai mahasiswa, di sela-sela kesibukan kuliah, ia tetap menekuni bidang musik bahkan keahlian musiknya makin berkembang. Ia kerap mendapat tawaran untuk menjadi musisi pengiring pesta perkawinan hingga reuni anak-anak sekolahan. Meski memiliki kesibukan di luar bidang akademis, sulung dari tiga bersaudara ini tak pernah menomorduakan kuliahnya.
"Ya, mungkin ada dominasi 'kingdom of dangdut' yang disusul dengan pemusik-pemusik dangdut yang namanya bintang lima seperti Penyanyi Dangdut, Presenter Ikke Nurjanah, Diva Dangdut Camelia Malik dan lain-lain, namun tak bertahan lama dan kembali ke habitatnya. Walau dibantu dengan ajang-ajang yang bernuansa dangdut. Tapi karena enggak bisa menempatkan diri dangdut dengan lingkungan, maka kembali ke habitatnya," jelasnya.
Lebih jauh, mandeg-nya beberapa genre musik tertentu juga disebabkan oleh kemajuan teknologi dan minimnya dukungan terhadap musik tersebut yang berimbas pada selera pasar. Sehingga, lanjut Purwa, terjadi pergeseran nilai dan pihak label pun enggan untuk memproduksinya.
"Kalau kita enggak imbangi dengan hal lain, kalau berimbas positif enggak masalah. Namun kalau negatif, misalnya keluhan-keluhan anak-anak kecil menyanyikan lagu dewasa. Itu yang harus diantisipasi dengan perubahan. Zaman berubah tapi musik enggak berubah sebagai kebutuhan masyarakat," pungkasnya.
Sebagai bentuk kepeduliannya terhadap dunia musik Tanah Air, Purwa mendirikan sekolah musik berlabel Komposer, musisi Purwacaraka Music Studio. Lembaga pendidikan yang didirikannya sejak tahun 80-an itu kini telah memiliki puluhan cabang yang tersebar di seluruh Indonesia.
Kebahagiaan Purwa kian lengkap karena jejaknya sebagai seniman musik belakangan juga diikuti oleh ketiga buah hatinya, Aditya, Andrea, dan Amanda. Si sulung Aditya menentukan pilihan menimba ilmu di sekolah film, sementara dua adiknya, Andrea dan Amanda, mengikuti jejak ayahnya di bidang musik. Bahkan Andrea, yang bercita-cita menjadi penyanyi broadway telah mengawalinya dengan menggelar pertunjukan di Gedung Kesenian Jakarta pada 20 November 2007. Andrea dan tiga rekannya: Meliana Effendi, Jenna Iriana, dan Adyuta Abandhika memainkan musik hidup bertajuk All The Way Resital dengan iringan musik Orkestra Kecil Purwacaraka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar