Jumat, 15 Januari 2016

Doel Sumbang (Musisi)


Doel Sumbang lahir di Bandung, 16 Mei 1963 dengan nama Wahyu Pelukis Affandi. Doel lahir dan dibesarkan dalam keluarga santri yang agamis. Ayahnya yang dikenal dengan sebutan 'Abah Kabayan' adalah seorang mubalig di Kota Bandung. Ia mulai bersentuhan dengan dunia seni khusunya seni musik dan teater saat duduk di bangku SMP. Ia menimba ilmu pada sastrawan nyentrik, Remy Sylado. Sejak saat itu, Doel mulai menuangkan imajinasinya menjadi lirik-lirik lagu yang sarat dengan kritik sosial. Tema yang pada saat itu bisa dibilang belum banyak diangkat. Syair-syair yang digunakannya pun sederhana dan merakyat.

Keunikan itulah yang kemudian mengundang ketertarikan dari seorang produser bernama Handoko Kusumo. Ia berminat merekam karya-karya Kang Doel. Hingga pada akhirnya, Doel berhasil mengorbit di kancah musik tanah air sekitar tahun 80-an. Handoko juga yang menyematkan kata Sumbang di belakang nama Doel. 'Sumbang' di sini bisa dimaknai sebagai suara kritik terhadap sistem maupun budaya, meski liriknya jenaka namun mengandung kritikan yang cerdas. Kecerdasan kritik seorang Doel Sumbang dapat didengar lewat lagu Aku si Raja Goda, Suparti, Martini, Sakit Jiwa, dan masih banyak lagi. Ada pula lagu berjudul Aku, Tikus, dan Kucing, yang secara khusus diciptakannya untuk menyentil perilaku gadis zaman sekarang hingga kondisi kampung halamannya, Bandung, tempat ia lahir dan dibesarkan.

Di sisi lain, Doel bukanlah musisi yang anti lagu cinta. Ia pun bisa menyajikan lirik cinta namun tetap dengan gayanya. Meski liriknya nyeleneh, Doel mampu memberikan nuansa romantis namun tidak cengeng di setiap lagu-lagu cinta yang ditulisnya. Ia juga tak lupa menyematkan tentang makna hidup manusia yang sesungguhnya seperti dalam lagu Arti Kehidupan.

Dari sekian banyak lagu bertema cinta yang ia ciptakan, lagu berjudul Kalau Bulan Bisa Ngomong-lah yang paling fenomenal. Lagu itu dibawakan secara duet dengan menggandeng pelantun Gantengnya Pacarku, Nini Karlina. Kesuksesan Kalau Bulan Bisa Ngomong melahirkan hits berikutnya, Rindu Aku Rindu Kamu yang juga dibawakannya bersama Nini. Selain Nini Karlina, Doel pernah berduet dengan seorang penyanyi bernama Ikko membawakan lagu Cuma Kamu.

‘Doel Sumbang mulai bersentuhan dengan dunia seni khusunya seni musik dan Teater saat duduk di bangku SMP. Ia menimba ilmu pada sastrawan nyentrik, Remy Sylado. Sejak saat itu, Doel mulai menuangkan imajinasinya menjadi lirik-lirik lagu yang sarat dengan kritik sosial. Tema yang pada saat itu bisa dibilang belum banyak diangkat. Syair-syair yang digunakannya pun sederhana dan merakyat.

Selain menciptakan lagu berbahasa Indonesia, Doel juga turut melestarikan bahasa Sunda lewat lagu-lagunya. Bagi penikmat lagu Sunda pasti sudah tidak asing lagi dengan tembang Pangandaran, Bulan Batu Hiu, Ah Hoream, Ai, Awewe Sapi Daging, Beurit, Ceu Romlah, Sumedang, Jol, dan masih banyak lagi.

Lagu berbahasa Sundanya pun tak lepas dari kritikan sosial, seperti Kapolri (1968-1971) polisi Noban, Ema, Lalaki, Mang Darman, dan Bereny. Lagu-lagu Sunda hasil kreativitas Doel bahkan meledak saat bergulirnya Reformasi 1998. Selain itu, karya-karya Doel juga kerap dibawakan seniman Pasundan lainnya seperti Darso dan Nining Meida.

Doel memang sangat peduli pada budaya asli leluhurnya termasuk kepada sesama seniman Sunda. Meninggalnya Kang Ibing pada 19 Agustus 2010, kemudian mencetuskan ide untuk melestarikan karya-karya aktor pemeran tokoh Kabayan itu. Salah satunya adalah dengan mengaransemen ulang lagu ciptaan Kang Ibing yang berjudul Persib. Lagu tersebut diciptakan Kang Ibing saat Persib sedang berjaya. Selain mengaransemen ulang lagu Kang Ibing, Doel Sumbang dan sejumlah seniman lainnya juga berencana menerbitkan beberapa buku dan kumpulan puisi Kang Ibing.

Nama Doel Sumbang sempat tenggelam pada pertengahan tahun 2000-an. Ketika dikonfirmasi dalam sebuah kesempatan ia pun memberikan alasannya. "Soalnya sekarang ribuan band ada di Indonesia. Makanya saya belum memutuskan untuk masuk kancah. Saya belum melihat dunia musik di Indonesia itu ada darahnya. Dunia musik di Indonesia itu masih pucat. Nanti kalau saya sudah menemukan ada band yang bisa saya bilang darah di dunia musik Indonesia, saya mau bagian dari darah itu," jelasnya seperti dikutip dari situs kapanlagi.com.

Meski demikian, bukan berarti ia sama sekali meninggalkan dunia yang telah membesarkan namanya itu sebab ia masih menggarap lagu-lagu lama miliknya. Jika bicara soal eksistensinya sebagai penyanyi, ia merasa produktivitas tak hanya dinilai dari banyaknya ia tampil namun terlebih dari ide yang muncul dan semangatnya untuk terus berkarya. "Meski kita dibilang hilang, tapi tetap berkarya. Seumuran saya ini nggak cuma harus narsis, tapi lebih ke aktualisasi dan mau jadi apa sih kita ini?" ucap Doel, saat menghadiri acara musikalisasi puisi Remmy Soetansyah di Gedung Arsip, Gajah Mada, Jakarta Pusat, 14 Agustus 2009.

Purwacaraka (Komposer)


Pria berdarah Jawa yang lahir di Beograd, Yugoslavia pada 31 Maret 1960 ini sudah jatuh cinta pada seni musik sejak usia belia. Di usia tujuh tahun, putra pasangan Soedjono Atmotenojo & Soerjani Oesoep ini sudah diperkenalkan pada alat musik piano. Sejak itu, Purwa kecil mulai belajar piano klasik pada A Becalef, seorang guru piano berkebangsaan Hongaria di Bandung.
Saat ia duduk di bangku SMP, salah seorang teman ayahnya dari Amerika Serikat yang terpukau melihat permainan piano Purwa sempat menawarinya untuk belajar musik ke Amerika. Namun, karena saat itu ia masih belum cukup dewasa, ibunya pun tidak mengizinkan. Purwa tak lantas kecewa karena ia cukup puas menimba ilmu musik di negeri sendiri.
Meski terlahir dalam keluarga yang sederhana, ia termasuk anak yang beruntung karena memiliki orangtua yang amat mendukung bakatnya. Terlebih lagi sang ayah yang berprofesi sebagai tentara juga mencintai musik. Hampir setiap hari dari rumah mereka terdengar lantunan merdu lagu klasik yang diputar lewat piringan hitam milik musisi ternama di masa itu seperti Pat Bone, Glen Muller, dan Perry Como. Koleksi piringan hitam tersebut kebanyakan didapat sang ayah ketika bertugas di Negeri Paman Sam. Walau mendukung karir bermusik anak-anaknya, Soedjono tetap menekankan pentingnya pendidikan formal.
Terlebih lagi, sejak tahun 1979, Purwa sudah bekerja di sebuah perusahaan musik dan kerap tampil bermain musik di Malaysia dan Singapura saat masih berseragam SMA. Akhirnya Purwa memilih Jurusan Teknik Industri di Institut Teknologi Bandung (ITB) demi meluluskan keinginan orang tuanya yang ingin anak-anaknya mengenyam pendidikan layak. Ketika berstatus sebagai mahasiswa, di sela-sela kesibukan kuliah, ia tetap menekuni bidang musik bahkan keahlian musiknya makin berkembang. Ia kerap mendapat tawaran untuk menjadi musisi pengiring pesta perkawinan hingga reuni anak-anak sekolahan. Meski memiliki kesibukan di luar bidang akademis, sulung dari tiga bersaudara ini tak pernah menomorduakan kuliahnya. Setidaknya hal itu dibuktikan dengan keberhasilan kakak dari Trie dan Thea ini meraih gelar sarjana dengan Indeks Prestasi (IP) di atas tiga dalam skala 4.
Setelah lulus kuliah, namanya semakin dikenal. Tawaran untuk tampil dalam berbagai acara musik di televisi mulai menghampiri suami Sri Susanti ini. Berkat pengalaman puluhan tahun di dunia musik, ia kerap didaulat sebagai dewan juri di beberapa ajang pencarian bakat.
Purwacaraka punya pandangan tersendiri soal trend sejumlah stasiun televisi yang menyelenggarakan acara pencarian bakat. Menurut Komposer, musisi Purwacaraka, beberapa ajang pencarian bakat di Indonesia konsepnya memang mengadopsi dari tayangan serupa di luar negeri, seperti Amerika Serikat dengan American Idol-nya.
Bahkan sempat muncul anggapan bahwa acara-acara tersebut hanya berorientasi pada strategi untuk menjaring pasar yang lambat laun bisa menimbulkan kejenuhan dalam masyarakat. Namun untuk acara pencarian bakat di bidang musik, Purwa tetap optimis masih bisa bertahan karena masyarakat selalu mencari format dan lagu yang baru dan hal tersebut manusiawi dan alami.
Baginya, musik tak bisa dilepaskan dari kehidupan orang banyak. Musik akan tetap eksis dan mengikuti siklus sesuai dengan selera pasar yang selalu berubah dalam satu kurun waktu tertentu. Purwa mencontohkan musik dangdut yang secara perlahan pamornya mulai meredup dikarenakan dominasi 'kingdom of dangdut' yang tak bisa dipatahkan oleh ajang-ajang musik bernuansa dangdut.
‘Ketika berstatus sebagai mahasiswa, di sela-sela kesibukan kuliah, ia tetap menekuni bidang musik bahkan keahlian musiknya makin berkembang. Ia kerap mendapat tawaran untuk menjadi musisi pengiring pesta perkawinan hingga reuni anak-anak sekolahan. Meski memiliki kesibukan di luar bidang akademis, sulung dari tiga bersaudara ini tak pernah menomorduakan kuliahnya.
"Ya, mungkin ada dominasi 'kingdom of dangdut' yang disusul dengan pemusik-pemusik dangdut yang namanya bintang lima seperti Penyanyi Dangdut, Presenter Ikke Nurjanah, Diva Dangdut Camelia Malik dan lain-lain, namun tak bertahan lama dan kembali ke habitatnya. Walau dibantu dengan ajang-ajang yang bernuansa dangdut. Tapi karena enggak bisa menempatkan diri dangdut dengan lingkungan, maka kembali ke habitatnya," jelasnya.
Lebih jauh, mandeg-nya beberapa genre musik tertentu juga disebabkan oleh kemajuan teknologi dan minimnya dukungan terhadap musik tersebut yang berimbas pada selera pasar. Sehingga, lanjut Purwa, terjadi pergeseran nilai dan pihak label pun enggan untuk memproduksinya.
"Kalau kita enggak imbangi dengan hal lain, kalau berimbas positif enggak masalah. Namun kalau negatif, misalnya keluhan-keluhan anak-anak kecil menyanyikan lagu dewasa. Itu yang harus diantisipasi dengan perubahan. Zaman berubah tapi musik enggak berubah sebagai kebutuhan masyarakat," pungkasnya.
Sebagai bentuk kepeduliannya terhadap dunia musik Tanah Air, Purwa mendirikan sekolah musik berlabel Komposer, musisi Purwacaraka Music Studio. Lembaga pendidikan yang didirikannya sejak tahun 80-an itu kini telah memiliki puluhan cabang yang tersebar di seluruh Indonesia.
Kebahagiaan Purwa kian lengkap karena jejaknya sebagai seniman musik belakangan juga diikuti oleh ketiga buah hatinya, Aditya, Andrea, dan Amanda. Si sulung Aditya menentukan pilihan menimba ilmu di sekolah film, sementara dua adiknya, Andrea dan Amanda, mengikuti jejak ayahnya di bidang musik. Bahkan Andrea, yang bercita-cita menjadi penyanyi broadway telah mengawalinya dengan menggelar pertunjukan di Gedung Kesenian Jakarta pada 20 November 2007. Andrea dan tiga rekannya: Meliana Effendi, Jenna Iriana, dan Adyuta Abandhika memainkan musik hidup bertajuk All The Way Resital dengan iringan musik Orkestra Kecil Purwacaraka.

Kamis, 14 Januari 2016

Popong Otje Djundjunan (Politisi dan Aktivis Wanita Sunda)


            Dra. Popong Otje Djundjunan, politisi Golkar kelahiran Bandung 30 Desember 1938, adalah Anggota DPR-RI tertua yang terpilih pada Pileg 2014 dan dilantik 1 Oktober 2014. Sesuai Tatib DPR, dia pun menjadi pimpinan DPR sementara, bersama anggota termuda,. hingga terpilihnya pimpinan DPR tetap. Sebagai pimpinan DPR sementara, dia diampingi anggota DPR termuda Ade Rezki Pratama. Ade kelahiran Bukittinggi, 8 November 1988 (hampir 26 tahun). Ade diusung Partai Ketua Dewan Penasehat Partai Gerindra perempuan yang sudah lima periode terpilih menjadi anggota DPR sejak 1987 itu, dikenal kreatif dalam menyampaikan pemikiran-pemikirannya. Sebelum menjadi anggota DPR, dia berprofesi sebagai guru bahasa Inggris. Maka, ketika menjadi anggota parlemen, dia sangat senang duduk di Komisi X yang membidangi pendidikan.
Popong terpilih menjadi anggota DPR lewat Pemilu 2009 dan 2014 mewakili Dapil Jawa Barat I. Sebagai anggota Komisi X, Popong pernah mengkritisi pelaksanaan UN (Ujian Nasional). Popong berpandangan, pemerintah sebaiknya tidak memaksakan UN menjadi satu-satunya standar kelulusan bagi siswa. ”Di samping melanggar putusan MA, pemaksaan UN juga akan berakibat buruk bagi kualitas pendidikan nasional,” katanya.
Menteri dan pejabat. ”Alangkah baiknya jika pejabat eselon satu menggunakan istilah bahasa negeri sendiri ketimbang bahasa Inggris,” katanya Ceu Popong, panggilan akrabnya, telah aktif di dunia organisasi sejak usia remaja (16 tahun). Dia aktif di sekitar 62 lembaga (organisasi) sosial, pendidikan, budaya dan politik. Maka tak heran bila dia sangat dikenal oleh masyarakat Bandung, Dapil Jawa Barat I, di mana dia selalu terpilih hingga lima periode.
Dia salah satu ikon politisi perempuan, di tengah masih rendahnya partisipasi politik perempuan Indonesia. Dia melihat gerakan emansipasi wanita masih kerap disalahartikan oleh kaum wanita sendiri. Menurutnya, emansipasi itu sudah selesai pada level konstitusi negara, namun dalam lingkup rumah tangga, laki-laki tetap menjadi imam atas perempuan. “Tidak benar, bila emansipasi dipahami seorang perempuan dapat memperlakukan seenaknya kepada lelaki,” tegasnya.
Dia salah satu ikon politisi perempuan, di tengah masih rendahnya partisipasi politik perempuan Indonesia. Dia melihat gerakan emansipasi wanita masih kerap disalahartikan oleh kaum wanita sendiri. Menurutnya, emansipasi itu sudah selesai pada level konstitusi negara, namun dalam lingkup rumah tangga, laki-laki tetap menjadi imam atas perempuan. “Tidak benar, bila emansipasi dipahami seorang perempuan dapat memperlakukan seenaknya kepada lelaki,” tegasnya.
Dia menjelaskan, kaum perempuan memiliki kodrat alamiah yang tidak bisa ditentang, yaitu mengandung, melahirkan, dan menyusui. ”Ada tiga karakter ideal perempuan versi al-Quran. Yaitu mandiri secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi dan mandiri menentukan pilihan sendiri. Mandiri dalam bidang politik digambarkan dalam figur Ratu Balqis yang sukses membangun kerajaannya. Di bidang ekonomi, digambarkan seorang perempuan di zaman nabi Musa yang menggembala kambing karena keluarganya tidak mampu melakukan (sakit). Terakhir, adalah mandiri menentukan pilihan sendiri, digambarkannya pada tradisi di masyarakat (Sunda) yang terlebih dahulu menanyai sang putri saat sebelum menikah. Di situlah perempuan menentukan jalan sendiri hidupnya, “ jelasnya.

Rabu, 13 Januari 2016

Teten Masduki (Aktivis Antikorupsi)


Pria kelahiran Garut, Jawa Barat, 6 Mei 1963, adalah salah seorang yang pantas dijuluki sebagai aktivis antikorupsi di Indonesia. Kendati berbagai isu miring juga terkadang mewarnai aktivitasnya. Namanya mencuat ketika Indonesia Corruption Watch (ICW), membongkar kasus suap yang melibatkan Jaksa Agung Andi M. Ghalib pada masa pemerintahan Presiden Republik Indonesia Ketiga (1998-1999) BJ Habibie. Gebrakannya melalui ICW itu memaksa Andi Ghalib turun dari jabatannya. Berkat keberaniannya mengungkap kasus itu, Teten dianugerahi Suardi Tasrif Award 1999.
Suami Suzana Ramadhani, ini pun terus menggelorakan gerakan anti korupsi hingga terpilih sebagai penerima Penghargaan Magsaysay untuk kategori pelayanan publik, 2005. Dia menerima penghargaan itu bersama seorang tokoh dari India.
Teten mengakui, penghargaan tersebut memberikan energi baru baginya dalam bergelut di dunia pemberantasan korupsi. Penghargaan ini semakin memperteguh keyakinannya bahwa langkah yang mereka lakukan selama ini meskipun belum membuahkan banyak hasil, tetapi sudah dihargai.
Sebelum Teten, Yayasan Ramon Magsaysay telah memberikan penghargaan kepada 16 warga negara Indonesia, antara lain Nafsiah Mboi (dokter), Mochtar Lubis (wartawan), Gubernur DKI Jakarta (1966-1977) Ali Sadikin (mantan Gubernur DKI Jakarta), HB Yasin (Sastrawan), Presiden Republik Indonesia Keempat (1999-2001) Abdurrahman Wahid (mantan Presiden Republik Indonesia Presiden RI), Pujangga Tetralogi Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer (pengarang), Atmakusumah Astraatmadja (tokoh pers), dan Dita Indah Sari (Aktivis buruh).
Teten adalah anak seorang petani, ayahnya Masduki dan ibunya Ena Hindasyah. Dia dibesarkan dalam kesederhanaan hidup di Limbangan, Garut, Jawa Barat. Ayahnya sering berpesan agar ia jangan menjadi pegawai negeri atau tentara. Pendidikan SD sampai SMA berjalan apa adanya tanpa perhatian khusus dari kedua orang tuanya. Semula ia bercita-cita menjadi insinyur pertanian. Namun akhirnya, ia kuliah di jurusan kimia IKIP Bandung.
Tapi perhatiannya terhadap masalah-masalah sosial sangat menonjol. Bahkan sejak SMA hingga saat kuliah, ia sering ikut kelompok diskusi, mempelajari masalah sosial. Sejak 1985, Teten mulai terjun di dunia Aktivis. Pertama kali dia ikut aksi demontrasi membela petani Garut yang tanahnya dirampas. Kemudian setelah menyelesaikan pendidikannya dari IKIP, dia direkrut LSM informasi dan studi hak asasi manusia. Dia memulai aktivitasnya sebagai staf peneliti pada Institut Studi dan Informasi Hak Asasi Manusia (1978-1989).
Kemudian dia menjabat Kepala Litbang Serikat Buruh Merdeka Setiakawan (1989-1990). Dari sana, dia beranjak menjabat Kepala Divisi Perburuhan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (1990-2000). Ketika itu dia makin banyak berhubungan dengan buruh. Apalagi pada saat yang bersamaan, dia juga aktif sebagai Koordinator Forum Solidaritas Buruh (1992-1993) dan Koordinator Konsorsium Pembaruan Hukum Perburuhan (1996-1998).
Kemudian pada era reformasi, Teten aktif sebagai Koordinator Indonesia Corruption Watch (1998-2009). Keterlibatannya di ICW didorong kegeramannya melihat merajalelanya korupsi di negeri ini. Dia pun telah mengungkap berbagai kasus korupsi.

Dewi Sartika (Pahlawan Nasional)


Dewi Sartika lahir di Bandung, 4 Desember 1884, dan meninggal di Tasikmalaya, 11 September 1947 pada umur 62 tahun. Beliau adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966. Ayahnya, Raden Somanagara adalah seorang pejuang kemerdekaan. Terakhir, sang ayah dihukum buang ke Pulau Ternate oleh Pemerintah Hindia Belanda hingga meninggal dunia di sana. Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda , Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somanagara. Meski melanggar adat saat itu, orang tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika, ke sekolah Belanda pula.
Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang berkedudukan sebagai patih di Cicalengka. Dari pamannya, beliau mendapatkan didikan mengenai kesundaan, sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat didikan seorang nyonya Asisten Residen bangsa Belanda. Sejak kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering memperagakan praktik di sekolah, mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.
Raden Dewi Sartika yang mengikuti pendidikan Seko lah Dasar di Cicalengka, sejak kecil memang sudah menunjukkan minatnya di bidang pendidikan. Dikatakan demikian karena sejak anak-anak ia sudah senang memerankan perilaku seorang guru. Sebagai contoh, sebagaimana layaknya anak-anak, biasanya sepulang sekolah, Dewi kecil selalu bermain sekolah-sekolahan dengan teman-teman anak perempuan sebayanya, ketika itu ia sangat senang berperan sebagai guru. Waktu itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena di waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.
Berpikir agar anak-anak perempuan di sekitarnya bisa memperoleh kesempatan menuntut ilmu pengetahuan, maka ia berjuang mendirikan sekolah di Bandung, Jawa Barat. Ketika itu, ia sudah tinggal di Bandung. Perjuangannya tidak sia-sia, dengan bantuan R.A.A.Martanegara, kakeknya, dan Den Hamer yang menjabat Inspektur Kantor.

Muhammad Toha (Pahlawan Bandung Lautan Api)



Muhammad Toha (Bandung, 1927 sampai 24 Maret 1946) adalah pahlawan dalam peristiwa Bandung Lautan Api di Kota Bandung, Indonesia. Pada saat itu, Muhamad Toha melepaskan bom bunuh diri untuk menghancurkan gudang persenjataan Jepang.
Mohammad Toha dilahirkan di Jalan Banceuy, Desa Suniaraja, Kota Bandung pada tahun 1927. Ayahnya bernama Suganda dan ibunya yang berasal dari Kedunghalang, Bogor Utara, Bogor, bernama Nariah. Toha menjadi anak yatim ketika pada tahun 1929 ayahnya meninggal dunia. Ibu Nariah kemudian menikah kembali dengan Sugandi, adik ayah Toha. Namun tidak lama kemudian, keduanya bercerai dan Mohamad Toha diambil oleh kakek dan neneknya dari pihak ayah yaitu Bapak Jahiri dan Ibu Oneng. Mohamad Toha mulai masuk sekolah rakyat pada usia 7 tahun hingga kelas 4. Sekolahnya terhenti ketika Perang Dunia II pecah.
Pada zaman Jepang, Toha mulai mengenal dunia militer dengan memasuki Seinendan. Sehari-hari Toha juga membantu kakeknya di Biro Sunda, kemudian bekerja di bengkel motor di Cikudapateuh. Selanjutnya, Toha belajar menjadi montir mobil dan bekerja di bengkel kendaraan militer Jepang sehingga ia mampu berbahasa Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, Toha terpanggil untuk bergabung dengan badan perjuangan Barisan Rakjat Indonesia (BRI), yang dipimpin oleh Ben Alamsyah, paman Toha sendiri. BRI selanjutnya digabungkan dengan Barisan Pelopor yang dipimpin oleh Anwar Sutan Pamuncak menjadi Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI). Dalam lasykar ini ia duduk sebagai Komandan Seksi I Bagian Penggempur. Menurut keterangan Ben Alamsyah, paman Mohamad Toha, dan Rachmat Sulaeman, tetangga Mohamad Toha dan juga Komandannya di BBRI, pemuda Toha adalah seorang pemuda yang cerdas, patuh kepada orang tua, memiliki disiplin yang kuat serta disukai oleh teman-temannya. Pada tahun 1945 itu, Mohamad Toha digambarkan sebagai pemuda pemberani dengan tinggi 1,65 m, bermuka lonjong dengan pancaran mata yang tajam.
Pada tanggal 21 November 1945, tentara Sekutu mengeluarkan ultimatum pertama agar kota Bandung bagian utara dikosongkan oleh pihak Indonesia selambat-lambatnya tanggal 29 November 1945. Para pejuang harus menyerahkan senjata yang mereka rampas dari tentara Jepang. Alasannya untuk menjaga keamanan. Apabila tidak diindahkan, tentara Sekutu akan menyerang habis-habisan.
Peringatan ini tidak dihiraukan oleh para pejuang Indonesia. Sejak saat itu sering terjadi bentrokan senjata dengan tentara Sekutu. Kota Bandung terbagi menjadi dua, Bandung Utara dan Bandung Selatan. Oleh karena persenjataan yang tidak memadai, pasukan TKR dan para pejuang lainnya tidak dapat mempertahankan Bandung Utara. Akhirnya Bandung Utara dikuasai oleh tentara Sekutu.
Pada tanggal 23 Maret 1946 tentara Sekutu kembali mengeluarkan ultimatum ke-2. Mereka menuntut agar semua masyarakat dan pejuang TKR mengosongkan kota Bandung bagian selatan. Perlu diketahui bahwa sejak 24 Januari 1946, TKR telah mengubah namanya menjadi TRI.
Demi mempertimbangkan politik dan keselamatan rakyat, pemerintah memerintahkan TRI dan para pejuang lainnya untuk mundur dan mengosongkan Bandung Selatan. setelah mengadakan musyawarah, para pejuang sepakat untuk menuruti perintah pemerintah. Tapi, mereka tidak mau menyerahkan kota Bandung bagian selatan itu secara utuh.
Rakyat pun diungsikan ke luar kota Bandung. Para anggota TRI dengan berat hati meninggalkan Bandung bagian selatan. Sebelum ditinggalkan Bandung Selatan dibumihanguskan oleh para pejuang dan anggota TRI. Peristiwa ini di kenal dengan sebutan Bandung Lautan Api. Dalam peristiwa inilah pahlawan Mohammad Toha gugur,karena terjadi peristiwa Bandung Lautan Api, untuk mengenang peristiwa itu diciptakan lagu nasional Halo-halo Bandung.

Ridwan Kamil (Walikota Bandung)


Sosok walikota satu ini sangat terkenal di kalangan masyarakat Bandung sebagai pemimpin yang membawa perubahan bagi kota Bandung. Berikut Biografi dan Profil dari Ridwan Kamil atau akrab disapa Kang Emil yang menjabat sebagai walikota Bandung. Ridwan Kamil Lahir di Bandung pada tanggal 4 Oktober 1971, Emil nama sapaan akrabnya, ia merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Emil atau Ridwan Kamil sebenarnya menyukai berimajinasi sejak masa kecil. Ia suka membaca komik dan melihat foto dari berbagai kota di luar negeri. Sejak kecil Ridwan Kamil memiliki semangat kewirausahaan. Ia bersekolah di SDN Banjarsari III Bandung tahun 197 hingga 1984, Ketika sekolah dasar ia telah menjual es mambo buatannya sendiri. Selama bersekolah, ridwan Kamil dikenal sebagai sosok yang aktif dan cerdas. Selain aktif di OSIS, Paskibra dan klub sepak bola, Emil selalu masuk dalam rangking lima besar di kelasnya.
Setelah tamat sekolah dasar ia kemudian melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 2 Bandung kemudian di SMA Negeri 3 Bandung pada tahun 1987 hingga 1990. Setelah tamat SMA, ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Institut Teknologi Bandung dengan mengambil jurusan Teknik Arsitektur dari tahun 1990 hingga 1995. Ridwan kamil juga aktif dalam kelompok-kelompok mahasiswa dan unit kegiatan seni. Semangat kewirausahaannya di kampus lagi, untuk mencari dana tambahan untuk kuliah, ia membuat ilustrasi cat air atau maket untuk dosen.
Lulus dari ITB, ia memilih untuk bekerja di Amerika Serikat. Tapi hanya bertahan empat bulan bekerja ia berhenti karena dampak krisis moneter Indonesia yang membuat klien tidak membayar pekerjaannya. Ia tidak langsung pulang ke Indonesia, dia bertahan di Amerika sebelum akhirnya mendapat Beasiswa di University of California, Berkeley. Selagi mengambil S2 di Univesitas tersebut Ridwan Kamil bekerja paruh waktu di Departemen Perancanaan Kota Berkeley. Untuk bertahan hidup di Amerika, ia makan sekali sehari dengan menu murah seharga 99 sen. Perjuangan Ridwan Kamil untuk bertahan hidup di Amerika terus diuji ketika istrinya, Atalia Praratya akan melahirkan anak pertama mereka. Ayah yang kini memiliki dua orang anak ini tidak memiliki uang untuk biaya persalinan istrinya, sehingga akhirnya dia harus mengaku miskin pada pemerintah kota setempat untuk mendapatkan Pengobatan gratis. Akhirnya, ia menemani istrinya melahirkan di sebuah rumah sakit khusus untuk orang miskin, tepatnya di bangsal rumah sakit. Baginya pengalaman jatuh bangun hidupnya membentuk nilai-nilai tersendiri akan kerasnya perjuangan hidup.
Pada tahun 2002 Ridwan Kamil pulang ke tanah kelahirannya Indonesia dan dua tahun kemudian mendirikan Urbane, firma yang bergerak dalam bidang jasa konsultan perencanaan, arsitektur dan desain. Kini Ridwan Kamil aktif menjabat sebagai Prinsipal PT. Urbane Indonesia, Dosen Jurusan Teknik Arsitektur Institut Teknologi Bandung, serta Senior Urban Design Consultant SOM, EDAW (Hong Kong & San Francisco), dan SAA (Singapura).
Urbane merupakan firma yang dibangun oleh Ridwan Kamil pada tahun 2004 bersama teman-temannya seperti Achmad D. Tardiyana, Reza Nurtjahja dan Irvan W. Darwis. Reputasi Internasional sudah mereka bangun dengan mengerjakan projek-projek di luar Indonesia seperti Syria Al-Noor Ecopolis di negara Syria dan Suzhou Financial District di China. Tim Urbane sendiri terdiri dari para profesional muda yang kreatif dan berpikir idealis untuk mencari dan menciptakan solusi mengenai masalah desain lingkungan dan perkotaan. Urbane juga memiliki projek berbasis komunitas dalam Urbane Projek Komunitas dimana visi dan misinya adalah membantu orang-orang dalam sebuah komunitas perkotaan untuk memberikan donasi dan keahlian-keahlian dalam meningkatkan daerah sekitarnya.